Mulyanto: Pemerintah Harus Bijak Dalam Menugaskan PLN
Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto. Foto: Dok/Man
Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menilai kondisi PLN saat ini sangat berat untuk menanggung beban transisi energi. Oleh karena itu, ia minta pemerintah bijak dalam memberikan penugasan tersebut kepada PLN. Jangan sampai hal tersebut justru mendorong PLN ke jurang kebangkrutan.
"Transisi energi melalui RUPTL 2021-2030 merencanakan penambahan pembangkit baru sebesar 40,6 GW, dimana porsi EBT (energi baru terbarukan) sebesar 52 persen. Diperkirakan ini akan menyebabkan peningkatan biaya pokok pembangkitan (BPP) listrik PLN, dari Rp 1.423/ kWh pada tahun 2021 menjadi Rp1.689/kWh pada tahun 2025,” ungkap Mulyanto dalam pesan singkatnya kepada Parlementaria, Senin (15/11/2021).
Dengan kenaikan BPP tersebut, sambungnya, beban tambahan untuk subsidi dan kompensasi akan membengkak dari Rp71.9 triliun pada tahun 2021 menjadi Rp182.3 triliun pada tahun 2025. “Jadi, bila tanpa adanya subsidi atau kompensasi dari pemerintah, maka program transisi energi ini akan menyuntik mati PLN,” ungkap Mulyanto.
Ditambahkannya, data Mei 2021 utang PLN sekitar Rp650 triliun. Dimana utang jangka panjang sebesar Rp500 triliun dan utang jangka pendek sebesar Rp150 triliun. Untuk dapat eksis melalui transisi energi ini, PLN membutuhkan investasi rata-rata Rp95 triliun per tahun. Dimana Rp72,4 triliun untuk infrastruktur baru. Sedang untuk investasi perawatan sebesar Rp22.5 triliun. Investasi yang besar tersebut untuk mendukung proyek pembangkit 35 GW yang sudah committed dan on going serta pembangkit baru berbasis EBT.
"Dengan BPP yang cenderung naik, utang yang menggunung, dan laba yang tidak seberapa, mustahil investasi dapat dipenuhi dari dana internal PLN. Pinjaman juga tidak mudah, karena leverage yang terbatas sementara PMN (penyertaan modal negara) hanya rata-rata sekitar Rp9 triliun per tahun. Oleh karena itu, bila tidak ada terobosan baru dalam investasi ini, maka bisa-bisa PLN menjadi fosil," tambahnya. (ayu/es)